Profil Peneliti
Merujuk dari hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2003 tentang perilaku seksual remaja yang marak terjadi saat ini, melaporkan bahwa terdapat 1% remaja perempuan dan 5% remaja laki-laki telah melakukan hubungan seksual. Sementara itu hasil SKRRI tahun 2007 menjelaskan bahwa proporsi remaja laki-laki yang telah melakukan hubungan seksual meningkat menjadi 6% dan pada SKRRI tahun 2012, proporsinya meningkat lagi menjadi 8,3%, sedangkan pada remaja perempuan yang telah melakukan hubungan seksual cenderung stabil (Kemenkes 2012).
Sementara itu berdasarkan hasil Survei Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) tahun 2001 di Sumatera Barat pada 3 (tiga) kota yaitu kota Payakumbuh, Bukittinggi dan Padang, dimana dari hasil survei ini ditemukan 13% remaja sudah melakukan hubungan seksual secara aktif di Payakumbuh, 21% di Bukittinggi, dan 10,5% di Padang (BKKBN, 2006). Sedangkan menurut Nursal (2007), dari hasil penelitannya pada siswa SMA Negeri di kota Padang, didapatkan bahwa 16,6% siswa memiliki perilaku seksual berisiko, 4,3% diantaranya telah melakukan hubungan seksual.
Beberapa hasil penelitian lain menyimpulkan bahwa faktor penyebab perilaku seksual remaja berisiko diantaranya adalah rendahnya pengetahuan remaja tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi dan sikap negatif remaja terhadap kesehatan reproduksi dan perilaku seksual yang merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku seksual berisiko (Nursal, 2007; Chronika, 2011; Jailani, 2011; Kemenkes, 2013). Remaja dengan pengetahuan relatif rendah tentang seksualitas, mempunyai peluang 11,90 kali berperilaku seksual berisiko berat dibandingkan remaja yang memiliki pengetahuan tinggi tentang seksualitas. Sikap negatif remaja terhadap kesehatan reproduksi dan perilaku seksual memiliki peluang 9,94 kali untuk berperilaku seksual berisiko berat dibandingkan remaja dengan sikap positif (Nursal, 2008,: Azinar, 2013; Ahmadian, 2014).
Sementara itu untuk mengatasi masalah tentang perilaku seksual berisiko pada remaja dan faktor-faktor yang mempengaruhi yang tersebut diatas, selama ini negara di dunia termasuk Indonesia, telah berupaya melaksanakan berbagai program pelayanan kesehatan diantaranya program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang merupakan elemen penting yang digagas pada International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo yang dilaksanakan pada bulan September tahun 1994 oleh 184 negara, termasuk Indonesia salah satunya.
Program KRR ini dilaksanakan bertujuan untuk mengatasi berbagai permasalahan remaja yang dikenal dengan istilah TRIAD KRR, yaitu seksualitas (seks bebas, KTD, serta aborsi), HIV/AIDS dan NAPZA. Fakta menunjukkan setelah pelaksanaan program KRR selama beberapa tahun tidaklah berhasil menurunkan angka pelaku free sex (seks bebas), KTD, aborsi, ataupun penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS. Hal ini terlihat dari tingginya angka kejadain KTD di Indonesia menurut hasil SDKI tahun 2012, 30% remaja mengalami KTD dan angka kejadian aborsi mencapai 2,4 juta pertahun (BKKBN, 2014)
Pada tahun 2002 program KRR ini berganti nama menjadi program PKPR (Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja). Program PKPR ini telah dilaksanakan di sekolah dan di semua puskesmas di Indonesia, yang berkoordinasi dengan pihak sekolah, begitu juga halnya dengan puskesmas yang ada di Provinsi Sumatera Barat.
Ketidakberhasilan program PKPR di sekolah selama ini adalah karena:
1. Belum adanya tools atau instrument khusus untuk menggali kebutuhan dan permasalahan setiap siswa tentang kespro dan seksualitas,
2. Program layanan kespro dan seksualitas yang diberikan masih bersifat umum
3. Pihak sekolah lebih memfokuskan kepada layanan kemajuan belajar setiap siswanya,
4. Kegiatan pelayanan kesehatan reproduksi hanya berjalan ketika sudah terjadi kasus, seperti kasus kehamilan diluar nikah, dan
5. Kadangkala program kesehatan di sekolah dianggap mengganggu jam pelajaran siswa.
Sedangkan ketidakberhasilan program PKPR di puskesmas adalah karena:
1. Pemeriksaan kesehatan yang dilakukan kepada siswa hanya berfokus pada pemeriksaan fisik, dan belum mencakup pemeriksaan kesehatan yang menggali tentang kesehatan yang berkaitan dengan seksualitas pada siswa /remaja,
2. Program penyuluhan yang diberikan kepada siswa di sekolah tidak mengacu kebutuhan siswa tetapi mengacu kepada kebutuhan program puskesmas,
3. Petugas puskesmas sifatnya hanya menunggu laporan dari pihak sekolah kalau ada terjadi kasus.
4. Tidak ada tindak lanjut dari hasil pemeriksaan kesehatan yang dilakukan terhdap siswa.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk membuat tools atau instrument khusus untuk menggali kebutuhan tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas pada remaja, dimana tools ini diharapkan dapat memprediksi perilaku seksual remaja secara dini, apakah berisiko atau tidak. Tools ini disusun dalam bentuk simulator online berbasis web. Simulator ini berfungsi untuk menskrinning perilaku seksual seseorang yang bersifat menentukan (prescriptive screening).
Simulator adalah program komputasi yang berfungsi untuk mensimulasikan suatu keadaan atau peralatan (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Prescriptive artinya adalah memberikan petunjuk/ketentuan-ketentuan yang bersifat menentukan (Kamus Bahasa Inggris), sedangkan screening adalah upaya dalam menduga ciri-ciri suatu penyakit atau kelainan yang belum diketahui dengan cara menguji, memeriksa atau prosedur lain yang dapat dilakukan dengan cepat (US commission on Chronic Illnes, 1951). Maka Prescriptive screening adalah upaya yang dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi individu-individu sehat terhadap suatu penyakit yang dapat dicegah lebih lanjut dan bersifat menentukan. Sedangkan prescriptive screening perilaku seksual berisiko adalah upaya penggalian informasi tentang kespro dan seksualitas yang dilakukan kepada setiap remaja secara dini untuk dapat mendeteksi/memprediksi faktor risiko perilaku seksual mereka, apakah si remaja memiliki perilaku seksual berisiko atau tidak.
Penelitian dalam penyusunan model simulator prescriptive screening ini dipromotori oleh 1) Prof. Dr. Afrizal, MA, 2) Dr. Yevita Nurti, M.Si dan 3) Prof. Dr. dr. Hj. Rizanda Machmud, M.Kes. Penyusunan model simulator prescriptive screening ini dilakukan melalui beberapa tahap penelitian, yang meliputi:
1. Tahap penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang dilakukan melalui penggalian informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas dari beberapa informan penting, seperti informan remaja yang pernah mengalami hamil di luar nikah yang berjumlah 6 (enam) orang beserta orang tua remaja yang mengalami hamil di luar nikah, guru kepala Sekolah SMP dan SMA negeri dan swasta se- Kota Padang, tokoh pemuda dan tokoh agama di kecamatan terpilih. Hasil analisa data pada penelitian kualitatif ini menjadi substansi pokok dan prinsip yang dijadikan parameter dan indikator dalam penyusunan instrument survei yang akan dilakukan pada sekolah SMP dan SMA terpilih nantinya.
2. Setelah instrument penelitian disusun, maka instrument penelitian ini di uji validitas dan reliabilitasnya terlebih dahulu. Hasil uji validitas instrument didapatkan nilai 0.05 dan uji reliabilitas intrumen adalah 0.88, hasil ini menunjukkan bahwa instrument penelitian valid dan reliable untuk diujicobakan. Setelah instrument penelitian valid dan reliable, selanjutkan instrument penelitian di ujikan kepada 400 responden yang berasal dari murid SMP dan SMA Kota Padang yang terpilih. Kemudian data yang sudah dikumpulkan diolah dan di analisa. Hasil analisa data yang menunjukkan adanya hubungan antara variabel dengan nilai p < 0.25, semuanya dimasukan ke dalam permodelan pada analisis multivariat selanjutnya. Variabel yang berpenagruh diambil sebagai elemen penyusun model simulator.
3. Varibel terpilih yang berpengaruh terhadap perilaku seksual remaja seperti variable pengetahuan, sikap, keterpaparan terhadap media informasi yang berbau pornografi/pornoaksi, aktifitas sosial berisiko, pola pacaran berisiko dan pola asuh dalam keluarga, dijadikan blue print dalam penyusunan Model Simulator Prescriptive Screening Perilaku Seksual. Metode yang digunakan dalam membangun model simulator ini adalah menggunakan metode ADDIE (Analyse, Desain, Development, Implementation dan Evaluation). Setelah Model Simulator tersusun, dilakukan validasi model dalam bentuk validasi desain dan validasi konstruksi dan isi model simulator oleh pakar dengan kualifikasi Profesor dan Doktor yang berjumlah sebanyak 6 (enam) orang, Hasil validasi desain oleh pakar diperoleh nilai 0.88 (Valid) dan validasi konstruksi dan isi model simulator diperoleh nilai 0.99 (Valid). Ini menunjukkan bahwa model simulator sudah valid dan layak untuk diujicobakan.
4. Model simulator yang sudah valid ini telah diujicobakan terhadap 36 orang siswa pada sekolah SMP terpilih. Ujicoba dilakukan untuk melihat sensitifitas dan spesifisiitas model simulator, dimana sensitifitas model diperoleh nilai 0.93, ini menunjukkan bahwa simulator ini dapat mendeteksi remaja yang benar benar berisiko dinyatakan 93% positif berisiko dan spesifisitas model diperoleh nilai 0.88. Hal ini menunjukkan bahwa remaja yang dinyatakan tidak berisiko, dinyatakan 88% negatif berisiko oleh model simulator ini.
5. Evaluasi model simulator dilakukan melalui uji praktikalitas dan efektititas model simulator kepada siswa SMP terpilih yang berjumlah 36 orang terhadap kepraktisan penggunaan simulator, dimana hasil uji praktikalitas pada siswa diperoleh nilai 88,64% (Sangat Praktis). Hasil ini menunjukkan bahwa model simulator ini sangat praktis untuk digunakan, dan hasil uji efektifitas pada siswa terhadap keefektifan penggunaan simulator diperoleh nilai 88,22% (Sangat Baik). Hasil ini menunjukkan bahwa model simulator ini berada pada kategori sangat baik dan efektif untuk digunakan dalam memprediksi perilaku seksual sesorang. Sedangkan evaluasi keterpakaian model oleh guru Bimbingan dan Konseling dan petugas puskesmas melalui uji praktikalitas model diperoleh nilai praktikalitas dengan nilai rata rata 91,22% (Sangat Praktis). Hal ini menunjukkan bahwa model simulator ini sangat praktis dan efektif digunakan dalam memprediksi perilaku seksual seseorang.